Tipe Dokumen | : | Artikel Hukum |
Penulis | : | Andri G. Wibisana |
Tempat Publikasi | : | Jakarta |
Tahun Publikasi | : | 2024 |
Sumber | : | Kendari Pos |
Subjek | : | Kerugian Lingkungan, Kerugian Perekonomian Negara? |
Bahasa | : | Indonesia |
Bidang | : | Hukum Lingkungan, Hukum Administrasi Negara |
Media | : | Cetak (Koran) |
Deskripsi | : | Saat ini, publik menaruh perhatian pada terjadinya tindak pidana korupsi terkait penambangan timah yang disebut merugikan negara hingga Rp 271 triliun. Dalam laporan Kompas “Mungkinkah Membuktikan Kerugian Perekonomian Negara Rp 271 Triliun di Kasus Timah?”, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa kerugian perkonomian negara sebesar Rp 271 triliun “bukan isapan jempol”. Angka kerugian ini diperoleh dari penghitungan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7/2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Dengan demikian, penghitungan kerugian lingkunga menjadi bukti bagi adanya kerugian perekonomian negara.
Kasus pertambangan tanpa IUP yang menjadi sorotan Kompas, menurut penulis, berpotensi memiliki implikasi hukum yang lebih luas. Apabila kita mengizinkan kegiatan illegal dianggap sebagai tindak pidana korupsi hanya karena terdapat perbuatan yang melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dan menimbulkan kerugian lingkungan, kegunaan pasal pidana dalam UU terkait dengan SDMA menjadi terancam. Lebih buruk lagi, apabila kasus korupsi hanya mengandalkan penghitungan kerugian lingkungan sebagai bukti adanya kerugian perekonomian negara, batas-batas tindak pidadna korupsi dan tindak pidana biasa menjadi kabur. Akibatnya, semua kasus pelanggaran hukum dapat saja berujung menjadi kasus korupsi. Jika ini terjadi, sesederhana orang yang membuang sampah di Sungai pun dapat diancam dengan tindak pidana korupsi! Hukum seperti ini sangatlah menakutka, draconian, dan dalam konteks lingkungan tidak ada manfaatnya bagi perlindungan dan pemulihan lingkungan. |